tetapi juga kecerdasan yang bisa dipergunakan untuk menghadapi keadaan rumit sekaligus memecahkannya. Itulah sebabnya meski Gajahmada belum terlampau lama menduduki pangkat bekel, telah mendapatkan kepercayaan untuk memimpin pasukan khusus. Pasukan yang kecil saja, tetapi memiliki kemampuan luar biasa. Pasukan itu diberi nama Bhayangkara.
Pasukan Bhayangkara adalah pasukan pengawal istana, lapis terakhir yang menjadi tameng hidup bagi raja serta segenap keluarganya. Itu sebabnya, prajurit Bhayangkara disaring dari prajurit pilihan dan digembleng secara khusus. Secara pribadi masing-masing anggota pasukan khusus memiliki kemampuan yang mendebarkan karena daya tahannya dalam menghadapi keadaan sesulit apa pun amat tinggi. Apalagi, perannya sebagai pasukan sandi, tidak ada beteng serapat apa pun yang tidak bisa ditembusnya. Patih Tadah yang memiliki gagasan untuk membentuk pasukan itu telah mensyaratkan kemampuan olah bela diri yang tinggi bagi mereka yang ingin menjadi bagian dari pasukan itu. Itu sebabnya, setiap anggota pasukan khusus berlatar belakang kemampuan olah kanuragan beragam.
Sebagaimana Mapatih Tadah yang terusik oleh munculnya kabut, Gajahmada juga memerhatikannya dengan saksama. ”Dalam keadaan seperti ini, apabila ada yang memancing di air keruh tentu merepotkan sekali,” berkata Bekel Gajahmada pada diri sendiri. Itu sebabnya, Gajahmada meminta kepada segenap anak buahnya untuk meningkatkan kewaspadaan.
Gajahmada meninggalkan halaman istana dengan berjalan kaki. Begitu Gajahmada keluar dari regol halaman, seolah-olah lenyap begitu saja ditelan oleh tebalnya kabut yang turun. Rupanya kabut yang menyergap kotaraja Majapahit makin pekat sehingga pimpinan prajurit Bhayangkara itu harus mengandalkan pendengaran. Gajahmada terus melangkah. Dengan diganduli berbagai pertanyaan, Gajahmada melangkah lurus mengambil arah ke wisma kepatihan. Didorong oleh rasa gelisahnya, Bekel Gajahmada mempercepat gerak langkah kakinya. Meski lurus menuju wisma kepatihan, sejatinya Gajahmada harus melintasi alun-alun untuk sebuah keperluan.
Bekel Gajahmada tak bermaksud langsung menemui Patih Arya Tadah karena ada orang yang harus ditemuinya. Siapa orang itu, Gajahmada tidak mengetahuinya. Seorang prajurit yang menjadi bawahannya menyerahkan sebuah surat yang ditulis di atas lembaran daun tal. Prajurit itu menemukan surat dimaksud melekat pada anak panah yang menyambar saka peneduh Purawaktra.
”Akan ada sebuah peristiwa penting besok, peristiwa yang mungkin akan menggilas istana. Bila
Ki Bekel Gajahmada ingin mendapatkan gambaran lebih utuh atas siapa saja pemerannya, temui aku di bawah beringin kurung,” demikian isi pesan yang tergurat di lembaran daun tal itu.
Gajahmada berjalan tidak sakadar berjalan. Sadar bahwa tatapan matanya tidak mungkin membelah kabut, Gajahmada berusaha menelengkan telinganya. Menjelang tepi alun-alun sebelah utara, yang di sana terdapat sebuah jalan menuju wisma kepatihan, Gajahmada berdesir.
Ada seseorang yang menghadang langkahnya. Orang itu yang tampaknya yakin akan bertemu dengan Bekel Gajahmada berdehem mewartakan keberadaannya.
”Siapa?” bertanya Gajahmada.
Orang yang menghadangnya itu belum menjawab. Namun, Gajahmada mampu mengikuti gerak langkah yang diambil orang itu.
”Kaukah yang mengirim pesan untukku?” tegas Gajahmada sekali
lagi.
Bekel Gajahmada menelengkan wajah. Karena tebal kabut bagai
melumpuhkan indra penglihatannya, dengan sepenuh kesadaran bekel
muda itu mengandalkan telinga.
”Sebut aku Manjer Kawuryan,” jawab orang itu.
Dari suaranya Gajahmada tahu orang itu mengenakan topeng.
Terdengar dari getar suaranya yang tertahan. Manjer Kawuryan, Ki Bekel
memahami apa artinya. Tangsu manjer kawuryan berarti bulan tengah
bercahaya benderang.
”Ada keperluan apa kau menemuiku?” bertanya Gajahmada.
”Aku bermaksud baik,” jawab orang itu. ”Kau hanya memiliki
waktu sangat sempit sejak saat sekarang. Karena, fajar menyingsing nanti
sebuah pasukan segelar sepapan akan bergerak menggilas istana.”
Bekel Gajahmada amat berdesir. Bekel Gajahmada tidak mungkin
mengabaikan keterangan itu mengingat kegiatan kelompok telik sandi
pasukan Bhayangkara yang selama ini bekerja keras menemukan bentuk
kegiatan aneh. Kegiatan itu sampai saat ini masih belum diketahui ke
mana arahnya. Gajahmada segera menghubungkan keterangan orang
itu dengan apa saja yang telah diketahuinya.
”Kekuatan dari mana yang akan menyerbu istana itu?” tanya
Gajahmada.
Namun, orang itu tidak menjawab. Dengan tenang ia berjalan
menjauh meninggalkan Bekel Gajahmada.
Gajahmada ingin mencegah orang itu dan mempertegas
pertanyaannya, tetapi kabut yang tebal melumpuhkan niatnya. Bekel
Gajahmada merasa tak ada gunanya memaksakan diri menanyai orang
itu, yang dengan segera lenyap dari tak hanya pandangan mata, tetapi
juga dari telinganya. Beberapa saat lamanya Bekel Gajahmada terpaku
18 Gajahmada
berdiri di tepi alun-alun itu. Dengan saksama ia memerhatikan keadaan
yang terasa sepi, senyap, dan damai. Rasanya sulit dipercaya di balik
keadaan itu bersembunyi sebuah bahaya yang siap menggulung
Majapahit. Akan tetapi, siapa pun orang itu, selama ini mengalirkan
keterangan sangat penting. Meskipun keterangan itu diterimanya selapis
demi selapis, nyatanya semua yang disampaikan benar. Kegiatan geladi
berlebihan yang dilakukan pasukan tertentu menjadi isyarat adanya hal
yang tak wajar.
”Benarkah besok akan terjadi makar?” bertanya Gajahmada di dalam hati.
Dalam perjalanan sejarahnya yang masih muda, Majapahit yang
kini berada di bawah pemerintahan Kalagemet yang bergelar Jayanegara
telah bertubi-tubi mengalami gempuran oleh berbagai pemberontakan.
Ranggalawe sahabat Raden Wijaya memilih mengangkat senjata melawan
Sri Kertarajasa Jayawardhana karena merasa tidak memperoleh jabatan
yang sesuai dengan pengabdiannya. Nambi yang menurut Ranggalawe
tak memiliki jasa sebesar yang dilakukannya dipilih Kertarajasa
Jayawardhana menduduki jabatan patih.
Lembu Sora menyusul mengangkat senjata pula karena fitnah yang
dilakukan seorang pejabat culas yang menjadi kepercayaan Jayanegara.
Disusul kemudian oleh makar yang dilakukan Juru Demung dan Gajah
Biru. Sikap Jayanegara yang di mata Bekel Gajahmada adakalanya kurang
bijak menyebabkan Rakrian Patih Majapahit sendiri, Nambi, ikut
mengangkat senjata. Kini akankah peristiwa semacam itu terjadi lagi?
Oleh rasa penasarannya Gajahmada bergegas melanjutkan
langkahnya menuju wisma kepatihan yang tidak seberapa jauh lagi. Akan
tetapi, pikirannya makin tidak tenang. Waktu yang diberikan oleh orang
tidak dikenal itu hanyalah sampai saat fajar menyingsing. Rentang waktu
yang sempit itulah yang harus digunakan untuk menghimpun prajurit
dan mengumpulkan kekuatan. Namun, prajurit yang mana?
Ada banyak kesatuan keprajuritan yang bertugas menjaga
ketenteraman dan menjamin keamanan berlangsungnya pemerintahan
Jayanegara. Kesatuan-kesatuan itu berada di bangsal kesatrian masingmasing
dengan dipimpin oleh prajurit berpangkat temenggung atau
Gajahmada 19
serendah-rendahnya senopati. Jika dibutuhkan pasukan dalam waktu
singkat untuk membetengi istana, kesatuan yang manakah yang harus
dipilih? Sayang sekali, orang yang mengaku bernama Manjer Kawuryan
tidak menyebut dengan jelas siapa orang yang akan mbalelo serta pasukan
mana saja yang terlibat dalam gerakan itu.
Gajahmada membawa kegelisahannya sampai ke halaman
kepatihan. Beberapa prajurit berloncatan menghadangnya.
”Bekel Gajahmada!” ucap Gajahmada dengan tegas. ”Gusti
Mahapatih Tadah memerlukan aku.”
Pimpinan prajurit pengawal wisma kepatihan itu segera memberikan
penghormatan karena pangkatnya lebih rendah kemudian
mengantarkannya menghadap Mapatih Arya Tadah yang telah menunggu
cukup lama di pendapa. Mapatih Tadah rupanya amat terganggu oleh
udara dingin, kabut, dan angin deras, itu terlihat dari batuknya yang
kemekel.
”Saya menghadap, Mapatih!” ucap Gajahmada sambil memberikan
penghormatan.
”Duduklah!” jawab Arya Tadah.
Antara Bekel Gajahmada dan Patih Tadah telah terjalin hubungan
erat. Bahkan, melalui Tadahlah beberapa tahun yang lalu Gajahmada
mendapat kesempatan mengabdikan diri menjadi prajurit di Majapahit.
Hubungan yang erat itu bahkan berubah menjadi hubungan layaknya
orang tua dan anak.
”Apa pendapatmu terhadap keadaan yang aneh ini, Bekel?”
bertanya Tadah.
Bekel Gajahmada menebar pandang. Kabut yang turun melayanglayang
kian tebal. Jarak pandang dari tempatnya ke arah tiang pendapa
amat terganggu kabut itu.
”Kabut yang turun benar-benar luar biasa, Gusti Patih,” jawabnya.
Bekel Gajahmada menunggu Arya Tadah akan menyampaikan
kalimat berikutnya. Namun, yang dilihat Gajahmada adalah Mapatih
20 Gajahmada
Arya Tadah yang justru termangu seolah ada sesuatu yang tengah
direnungkan. Bekel Gajahmada tetap menunggu sampai Tadah kembali
berbicara.
”Ada tiga buah peristiwa penting yang aku catat yang sekarang
akan kuceritakan kepadamu. Peristiwa pertama adalah ketika leluhur
Sri Baginda, pendiri Singasari terbunuh oleh keris Empu Gandring.
Tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi tewas di tangan seorang
batil dari Pangalasan, peristiwa itu konon ditandai dengan turunnya kabut
yang sangat tebal menyergap istana Singasari. Kabut yang tebal dan
udara dingin itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Batil Pangalasan
dengan tidak menyimpan keraguan secuil pun. Ia membenamkan keris
rautan Empu Gandring ke dadanya. Suasana saat itu kira-kira seperti
sekarang ini. Singasari yang memang berada di ketinggian dan udaranya
dingin, dikemuli kabut amat tebal.”
Arya Tadah terdiam sejenak seperti sedang mengumpulkan ingatan.
Dengan sabar Bekel Gajahmada menunggu Mapatih Tadah melanjutkan
ceritanya.
”Peristiwa yang kedua adalah saat Singasari akhirnya benar-benar
runtuh, saat Tuanku Sri Kertanegara terbunuh oleh serangan Jayakatwang
dari Kediri. Serangan itu dilakukan di pagi buta, juga ketika kabut turun
dengan tebalnya. Pasukan segelar sepapan membuat kekacauan dari arah utara.
Namun, yang sebenarnya terjadi pasukan yang lebih besar lagi datang
bagaikan banjir bandang menggilas kotaraja Singasari dari arah selatan.”
Patih Tadah menyela ucapannya dengan batuk. Bekel Gajahmada
menyimak cerita itu dengan cermat. Gajahmada tahu, Mapatih Arya
Tadah akan menghubungkan peristiwa itu dengan keadaan ganjil yang
saat ini tengah berlangsung.
”Ketika Jayakatwang menyerbu Singasari, saat itu kabut yang turun
begitu tebal. Siapa pun mengalami kesulitan untuk melihat benda-benda
di sekitarnya. Keadaan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh
Jayakatwang untuk melakukan serangan dadakan. Dan, yang terakhir
adalah ketika Majapahit benar-benar dililit duka, saat Tuanku Baginda
Kertarajasa Jayawardhana mangkat. Kauingat apa yang terjadi?”
Gajahmada 21
Bekel Gajahmada mengangguk. Gajahmada juga menyaksikan
keajaiban alam itu. Di siang hari matahari bercahaya pucat kekuningkuningan.
Hal itu berlangsung beberapa hari lamanya seiring dengan Sri
Baginda yang gering. Ketika malam itu Sri Baginda mangkat, kabut
turun amat tebal ditandai pula dengan kehadiran burung gagak yang
berkaok-kaok di tengah malam. Majapahit bagaikan dipayungi mendung
duka ketika Raden Wijaya menutup mata untuk selamanya.
”Apakah dengan demikian malam ini akan terjadi sesuatu?” bertanya
Bekel Gajahmada.
Mapatih Arya Tadah menghela tarikan napas resah.
”Aku tak bisa menutupi kegelisahanku, Bekel Gajahmada. Suara
burung gagak itu, tidakkah kaudengar?”
Bekel Gajahmada mengangguk.
”Lalu ada penggalan kejadian lain yang kusebut sebagai ngelmu titen.
Kemunculan kabut tebal di malam menjelang kejadian-kejadian penting
itu, atau kemunculan lintang kemukus dalam beberapa hari ini di langit
sebelah timur agak ke utara. Semua itu mungkin bisa dianggap sebagai
kejadian biasa. Seperti munculnya matahari di pagi hari dan munculnya
bulan di malam hari, hal yang biasa.”
Bekel Gajahmada mencuatkan alisnya.
”Dengan demikian, aku menjadi cemas besok bakal terjadi sesuatu!”
Arya Tadah menambah.
Gajahmada yang menunduk itu kemudian menengadah dan
mengarahkan pandangan matanya ke wajah Arya Tadah yang tampak
samar. Tidak tercegah, Gajahmada memang harus menghitung apa yang
disampaikan oleh orang tak dikenal dan mengaku bernama Manjer
Kawuryan yang meminta untuk bertemu di Wringin Kurung bahwa
banjir bandang akan terjadi saat fajar menyingsing.
Selama ini kecemasan dan kegelisahannya disimpan rapat. Akan
tetapi, akhirnya Bekel Gajahmada merasa waktunya telah tiba untuk
melapor apa yang diketahuinya.
22 Gajahmada
”Menurut Mapatih, apa nama Manjer Kawuryan mempunyai arti?”
Pertanyaan Gajahmada yang membelok seperti tanpa arah itu
menyebabkan Arya Tadah agak bingung. Arya Tadah memandang
Gajahmada sangat lekat.
”Manjer kawuryan itu terang benderang. Bila ada kalimat sasadara
manjer kawuryan, itu berarti bulan terang benderang. Kenapa?” balas
Tadah.
Gajahmada menggeser duduknya agak mendekat.
”Sebenarnya baru saja aku bertemu dengan orang yang menyebut
dirinya dengan nama Manjer Kawuryan. Aku tidak tahu, pamrih apa
yang ada dalam benaknya. Orang itu baru saja memberi tahu aku bahwa
besok istana akan diserbu oleh banjir bandang berkekuatan segelar
sepapan.”
Dengan jelas dan gamblang Bekel Gajahmada menceritakan apa
yang diketahuinya. Mahapatih Tadah menyimak cerita Bekel Gajahmada
itu dengan perasaan tegang.
”Kau tidak berhasil mengenali orang itu?” bertanya Mapatih Tadah.
Bekel Gajahmada menggeleng.
”Tidak Gusti Mahapatih!” jawabnya. ”Orang itu mengenakan
topeng untuk menutupi wajahnya supaya tak bisa dikenali, baik suaranya
maupun wajahnya.”
”Menurutmu orang itu sudah tua?” kembali Patih Tadah bertanya.
Bekel Gajahmada mencoba mengingat warna suara orang itu.
”Masih muda,” jawab Gajahmada tanpa keraguan.
Mapatih Tadah yang makin gelisah segera bangkit.
”Ada orang yang akan melakukan makar, siapa?” bertanya Mapatih
Tadah seperti kepada diri sendiri.
Lelaki tua itu berjalan mondar-mandir sambil mengelus jenggotnya
yang memutih.
Gajahmada 23
”Siapa menurutmu Bekel Gajahmada? Kau mempunyai dugaan,
siapa kira-kira orang yang keracunan bunga kecubung dan tidak sadar
atas tindak dan perbuatannya itu?” ulang Mapatih Arya Tadah.
Bekel Gajahmada berpikir. Segenap pejabat penting diingatnya satu
per satu, dinilai dan ditimbangnya. Akan tetapi, Bekel Gajahmada tidak
menemukan sesuatu yang pantas untuk digunakan mencurigai seseorang
akan melakukan tindakan makar, mencoba merebut takhta dari Sri
Baginda Jayanegara.
Di Majapahit terdapat tiga kelompok kesatuan pasukan besar yang
masing-masing berkekuatan segelar sepapan, pasukan Jalapati di bawah
pimpinan Rakrian Temenggung Banyak Sora. Temenggung Banyak Sora
adalah seorang prajurit yang pilih tanding dan memiliki kesetiaan yang
tinggi terhadap Sri Baginda Jayanegara. Lalu pasukan Jalayuda di bawah
kendali Rakrian Temenggung Panji Watang. Sebagaimana Banyak Sora,
Temenggung Panji Watang juga mumpuni dalam olah keprajuritan serta
memiliki kemampuan olah perang yang tinggi. Terakhir adalah pasukan
Jala Rananggana yang memiliki Candrakapala berwujud tengkorak
sebagai lambang pasukan. Temenggung Pujut Luntar memimpin
pasukan dari kesatuan Jala Rananggana itu.
Sebagaimana kedua Rakrian Temenggung yang lain, sangat sulit
bagi Bekel Gajahmada membayangkan Temenggung Pujut Luntar akan
makar terhadap kekuasaan Jayanegara. Namun, ada pepatah dalam laut
bisa ditebak, tetapi dalamnya hati siapa yang tahu. Boleh jadi salah seorang
dari mereka akan memanfaatkan keadaan dengan mengerahkan pasukan
yang mereka pimpin untuk berbuat makar.
Demikian pula dengan Mapatih Arya Tadah. Orang tua itu mencoba
memilah-milah, tetapi tidak menemukan seseorang yang dicurigai bakal
membuat ontran-ontran.
”Siapa?” sekali lagi Tadah bertanya seperti kepada diri sendiri.
”Saya tidak menemukan seorang pun yang pantas dicurigai, Gusti
Patih,” jawab Bekel Gajahmada.
24 Gajahmada
”Apakah masih ada yang tidak puas terhadap pengangkatan Tuanku
Jayanegara?” bertanya Arya Tadah seolah kepada diri sendiri.
Bekel Gajahmada tergiring untuk merenung ulang. Raden Wijaya
setelah berhasil membangun Majapahit mengawini empat putri anak
Kertanegara. Mereka adalah Ratu Dyah Sri Tribuaneswari yang
didudukkan sebagai permaisuri, Ratu Dyah Sri Narendraduhita, Ratu
Dyah Dewi Prajnaparamita serta Ratu Dyah Dewi Gayatri yang diangkat
sebagai Rajapadni.
Istri Wijaya, Dyah Dewi Gayatri, memberikan dua keturunan yang
tidak bisa diharapkan untuk diangkat menjadi raja karena perempuan.
Kedua anak Gayatri atau Rajapadni itu adalah Sri Gitarja yang juga
bernama Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani yang mempunyai calon
suami bernama Cakradara atau Kertawardana. Sri Gitarja diangkat
menjadi pemangku di Kahuripan bergelar Breh Kahuripan. Anak Gayatri
kedua adalah Rajadewi Maharajasa yang diangkat menjadi pemangku
Daha bergelar Breh Daha juga telah mempunyai calon suami bernama
Kudamerta.
Ketika pulang dari Pamalayu, pasukan yang dikirim oleh Sri
Kertanegara kembali dengan membawa dua gadis boyongan bernama
Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Jingga dikawinkan dengan seorang
bangsawan Melayu, melahirkan Adityawarman atau Arya Damar yang
bersahabat erat dengan Gajahmada, sedangkan Dara Petak diangkat
sebagai permaisuri yang justru dituakan oleh Raden Wijaya karena telah
memberinya anak laki-laki dan padanya dianugerahkan gelar Stri
Tinuhweng Pura atau Stri Tinuwa Hing Pura yang berarti permaisuri
yang dituakan di dalam pura karena memberinya keturunan berjenis
kelamin laki-laki yang padanya diharapkan akan menjadi penerus
kekuasaan Wilwatikta.
Satu-satunya anak laki-laki Raden Wijaya itu adalah Kalagemet yang
kemudian diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya menggunakan
nama Jayanegara. Sering kali Arya Tadah menilai bahwa Kalagemet
atau Jayanegara amat berbeda dengan ayahnya. Sebagai raja yang tidak
merasakan pahit getir membangun negara, Kalagemet acap mengabaikan
Gajahmada 25
perasaan pejabat yang dahulu bahu-membahu bersama ayahnya bekerja
keras meletakkan pilar berdirinya negara baru setelah Singasari lenyap
dari percaturan. Apakah perilakunya yang adakalanya melampaui batas
itu yang mendorong orang untuk mbalelo terhadap kekuasaan Jayanegara?
Bekel Gajahmada mengenal dengan baik segenap janda yang
ditinggalkan Raden Wijaya karena Gajahmadalah orang yang
bertanggung jawab mengamankan mereka untuk segala hal. Jika Putri
Tribuanatunggadewi atau Sri Gitarja akan bepergian, Gajahmada yang
bertugas menyusun pengawalan dan mendampinginya ke mana pun
mereka pergi. Oleh karena itu, Bekel Gajahmada merasa yakin kalau
ada pihak tertentu yang bakal melakukan pemberontakan jelas tak
mungkin ada hubungannya dengan keluarga istana. Terlebih-lebih Ratu
Gayatri yang telah memutuskan diri menjadi seorang biksuni, menjauh
dari gebyar kehidupan. Demikian juga dengan Ratu Dewi
Narendraduhita dan Ratu Dewi Prajnaparamita, mereka tidak memiliki
keturunan sehingga sama sekali tak ada alasan bagi keluarga istana untuk
mendalangi tindakan makar. Pun persoalan Jayanegara yang terlahir dari
Dara Petak sama sekali bukan masalah karena segenap kerabat keluarga
memang tidak ada yang mempersoalkan.
Gajahmada terus memutar benak. Nama demi nama dipilahpilahnya
hingga kemudian muncul nama-nama mereka yang mendapat
anugerah Winehsuka dari Sri Jayanegara. Orang-orang yang mendapat
anugerah Winehsuka atau selengkapnya dinamai para Dharmaputra
Winehsuka itu adalah mereka yang sangat tinggi pengabdian dan
kesetiaannya kepada raja. Para Rakrian Dharmaputra Winehsuka itu
antara lain, Rakrian Kuti, Rakrian Tanca, Rakrian Pangsa, Rakrian Banyak,
Rakrian Wedeng, Rakrian Yuyu, dan Rakrian Semi yang menjadi
pemangku kekuasan Majapahit di Lasem. Bekel Gajahmada segera
mengesampingkan nama-nama itu. Tidak mungkin para Rakrian
Dharmaputra Winehsuka berbuat gila. Mereka tidak mempunyai
dukungan kekuatan untuk bertindak. Dharmaputra tidak memegang
kendali prajurit pada tingkat yang memadai seperti menguasai tiga
pasukan utama, pasukan Jalapati, pasukan Jalayuda, dan pasukan Jala
Rananggana.
26 Gajahmada
Mahapatih Arya Tadah duduk kembali dan menatap wajah
Gajahmada dengan tatapan sangat lekat. Udara yang dingin memancing
Arya Tadah untuk batuk beberapa saat.
Suaranya nyaris berbisik.
”Firasatku mengatakan bahwa benar sesuatu akan terjadi. Boleh
jadi, peringatan yang diberikan orang yang mengaku Manjer Kawuryan
itu benar. Jika besok pagi pasukan segelar sepapan akan menggilas istana
bagaikan banjir bandang, harus disiapkan kekuatan yang sama atau lebih
besar.”
Bekel Gajahmada tersenyum getir.
”Pasukan mana yang harus dihubungi untuk menghadapi tindakan
itu, Gusti Patih?”
Pertanyaan yang sederhana itu rupanya sangat sulit untuk dijawab
karena menyembunyikan persoalan yang tidak sederhana. Pertanyaan
itu pula yang seperti membingungkan Mapatih Arya Tadah untuk kembali
memilah tiga orang temenggung yang mengendalikan tiga pasukan besar,
Jalapati, Jalayuda, dan Jala Rananggana.
”Kau mencurigai mereka?” bertanya Tadah.
Gajahmada menghirup udara sedikit lebih banyak. Waktu yang
bergerak tidak tercegah menggiring Gajahmada makin gelisah dan resah.
”Jika ada orang yang bermaksud makar, orang itu harus memiliki
pasukan segelar sepapan. Siapakah orang yang memiliki prajurit segelar
sepapan yang dibutuhkan untuk mendukung pemberontakan itu, Gusti
Patih?”
Mapatih Tadah memandangi wajah Bekel Gajahmada tanpa
berkedip.
”Jalayuda, Jalapati, Jala Rananggana. Siapa di antara mereka yang
amat mungkin dicurigai?” bertanya Tadah.
”Tak sekadar mencurigai Gusti Patih. Namun, harus diperoleh bukti
nyata. Untuk itu, harus segera dikirim telik sandi.”
Gajahmada 27
Patih Arya Tadah terdiam. Tadah makin gelisah. Kabut makin tebal
dan burung gagak itu berkaok-kaok makin riuh, membuat risih gendang
telinga.
Arya Tadah yang sejenak memejamkan mata terkenang pada laporan
yang diberikan seorang prajurit rendahan bernama Gajahsari beberapa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar