BENER DIESNATALIS KE 22
Sabtu, 04 Mei 2013
Gajahmada.Eps.III
Rabu, 01 Mei 2013
tetapi juga kecerdasan yang bisa dipergunakan untuk menghadapi keadaan rumit sekaligus memecahkannya. Itulah sebabnya meski Gajahmada belum terlampau lama menduduki pangkat bekel, telah mendapatkan kepercayaan untuk memimpin pasukan khusus. Pasukan yang kecil saja, tetapi memiliki kemampuan luar biasa. Pasukan itu diberi nama Bhayangkara.
Pasukan Bhayangkara adalah pasukan pengawal istana, lapis terakhir yang menjadi tameng hidup bagi raja serta segenap keluarganya. Itu sebabnya, prajurit Bhayangkara disaring dari prajurit pilihan dan digembleng secara khusus. Secara pribadi masing-masing anggota pasukan khusus memiliki kemampuan yang mendebarkan karena daya tahannya dalam menghadapi keadaan sesulit apa pun amat tinggi. Apalagi, perannya sebagai pasukan sandi, tidak ada beteng serapat apa pun yang tidak bisa ditembusnya. Patih Tadah yang memiliki gagasan untuk membentuk pasukan itu telah mensyaratkan kemampuan olah bela diri yang tinggi bagi mereka yang ingin menjadi bagian dari pasukan itu. Itu sebabnya, setiap anggota pasukan khusus berlatar belakang kemampuan olah kanuragan beragam.
Sebagaimana Mapatih Tadah yang terusik oleh munculnya kabut, Gajahmada juga memerhatikannya dengan saksama. ”Dalam keadaan seperti ini, apabila ada yang memancing di air keruh tentu merepotkan sekali,” berkata Bekel Gajahmada pada diri sendiri. Itu sebabnya, Gajahmada meminta kepada segenap anak buahnya untuk meningkatkan kewaspadaan.
Gajahmada meninggalkan halaman istana dengan berjalan kaki. Begitu Gajahmada keluar dari regol halaman, seolah-olah lenyap begitu saja ditelan oleh tebalnya kabut yang turun. Rupanya kabut yang menyergap kotaraja Majapahit makin pekat sehingga pimpinan prajurit Bhayangkara itu harus mengandalkan pendengaran. Gajahmada terus melangkah. Dengan diganduli berbagai pertanyaan, Gajahmada melangkah lurus mengambil arah ke wisma kepatihan. Didorong oleh rasa gelisahnya, Bekel Gajahmada mempercepat gerak langkah kakinya. Meski lurus menuju wisma kepatihan, sejatinya Gajahmada harus melintasi alun-alun untuk sebuah keperluan.
Bekel Gajahmada tak bermaksud langsung menemui Patih Arya Tadah karena ada orang yang harus ditemuinya. Siapa orang itu, Gajahmada tidak mengetahuinya. Seorang prajurit yang menjadi bawahannya menyerahkan sebuah surat yang ditulis di atas lembaran daun tal. Prajurit itu menemukan surat dimaksud melekat pada anak panah yang menyambar saka peneduh Purawaktra.
”Akan ada sebuah peristiwa penting besok, peristiwa yang mungkin akan menggilas istana. Bila
Gajahmadah. Eps: II
benar prajurit yang terlatih, trengginas dalam bertindak, cukat terampil dalam mengambil langkah.
Kabut itu terbawa angin deras. Angin deras menyebabkan kabut menghilang, tetapi muncul lagi karena hawa dingin yang menggigit tulang. Angin deras yang membawa udara dingin menggigit itu pula yang menyebabkan para istri dengan ketat memeluk suaminya, atau anak yang menyusup mencari perlindungan di balik dekapan ibunya. Para orang tua yang menganggap yang terjadi itu sebagai sebuah keganjilan segera keluar untuk mencermati.
Di sudut sebuah perondan tiga lelaki terheran-heran.
”Apa ini?” bertanya salah seorang di antara mereka.
”Angin membawa kabut!” jawab seorang di antara mereka.
”Ya aku tahu,” ucap yang pertama, ”maksudku, kabut ini sangat aneh. Kabut ini terlalu tebal dan tidak wajar. Aku bahkan tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas.”
”Itu karena matamu lamur,” jawab orang di sebelahnya.
Yang seorang lagi yang pendiam ikut bicara.
”Tidak ada yang aneh dengan kabut ini. Hanya kabut biasa dan hanya gejala alam biasa. Hanya kebetulan sangat tebal. Di masa mudaku, di kaki Gunung Sindoro dan Sumbing aku sering berhadapan dengan keadaan seperti ini.”
Laki-laki yang mengaku pernah tinggal di kaki Gunung Sindoro itu menguap.
”Aku mengantuk,” ucapnya. ”Aku mau tidur.”
Laki-laki itu beranjak naik ke perondan dan segera membungkus diri dengan kain sarung kumal yang dimilikinya. Akan tetapi, orang tua biasanya menggunakan ngelmu titen, kemampuan untuk menandai sebuah peristiwa. Ki Wongso Banar dan Ki Dipo Rumi, dua orang penduduk biasa yang tinggal di luar dinding kotaraja Majapahit itu memiliki wawasan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Apabila malam tiba, apalagi langit tampak jernih, mereka sering kali memerhatikan bintang-bintang di langit. Kedudukan bintang yang juga disebut kartika bagi mereka memiliki makna. Itulah sebabnya kemunculan bintang kemukus dengan ekor yang memanjang dan terlihat benderang memberi kecemasan di hati Ki Wongso Banar dan Dipo Rumi. Apalagi, kini muncul keganjilan. Kabut tebal membungkus kotaraja. Betapa berdebar isi dada orang tua itu. ”Bagaimana menurutmu Adi Dipo Rumi?” bertanya laki-laki tua dengan rambut yang sudah memutih itu. ”Apakah menurutmu apa yang baru saja kita lihat bukan suatu hal yang amat mendebarkan?”
Ki Dipo Rumi dan Wongso Banar rupanya memiliki perbendaharaan pengetahuan yang langka yang tidak dimiliki orang pada umumnya. Bahwa kemunculan bintang kemukus merupakan isyarat yang tidak baik, hal itu sudah diketahui oleh orang banyak. Namun, bahwa munculnya kabut dengan angin deras tak berhujan, hanya orang tertentu yang menandai kejadian aneh seperti itu. Apalagi, sehari sebelumnya ketika langit terlihat bersih, tampak bintang kemukus dengan ekornya yang memanjang gemerlapan.
Wirahandaka, seorang pemuda yang menemani kedua orang itu menyimak pembicaraan yang terjadi dengan penuh perhatian. Meski rasa penasarannya terpacu, Wirahandaka berusaha menahan diri untuk tak bertanya.
”Apa yang terjadi ini seperti pengulangan atas apa yang pernah terjadi pada masa silam. Sehari menjelang perang besar yang terjadi antara Tumapel di bawah kendali Ken Arok melawan Kediri di bawah Kertajaya, terjadi keganjilan seperti ini. Kabut tebal dan badai melintas di malam saat langit sedang berhias kemukus, seolah menjadi pertanda khusus akan adanya perang yang meminta banyak korban,” berkata Ki Wongso Banar.
”Bukan hanya perang atas Tumapel dan Kediri,” tambah Ki Dipo Rumi, ”tetapi juga di malam menjelang kehancuran Singasari yang digempur Jayakatwang, kabut tebal menyergap kotaraja Singasari dengan amat pekatnya. Ditandai kemunculan angin deras, pertempuran yang sangat berdarah terjadi di kotaraja Singasari. Kertanegara yang tidak dikelilingi prajuritnya karena dikirim ke Pamalayu digempur Jayakatwang. Kertanegara pralaya.”
Gejala alam seperti itu Ki Dipo Rumi dan Wongso Banar memercayainya. Wirahandaka atau juga dipanggil Wirandaka akhirnya tak bisa menahan rasa penasarannya.
”Apakah bisa dipastikan, dengan demikian besok akan terjadi peristiwa besar? Peristiwa apakah itu? Besok negeri ini akan diserbu negara lain atau bagaimana?”
Ki Wongso Banar dan Dipo Rumi saling pandang. ”Apa yang kita bicarakan ini hanyalah ilmu titen, Wirandaka,” balas Dipo Rumi. ”Bahwa dahulu kala ada beberapa perang besar yang meminta banyak korban nyawa, umumnya ditandai munculnya lintang kemukus. Setelah beberapa hari bintang yang memiliki ekor menyala benderang itu menampakkan diri, pertanda munculnya kabut dengan pusingan angin itu makin mempertegas bakal hadirnya peristiwa itu. Jika kau bertanya akan terjadi peristiwa apakah besok, aku sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengintip hari esok.” Wirandaka termangu penasaran, ”Kalau ternyata besok tidak terjadi apa-apa?”
Wiro Banar memandang Wirandaka dengan tajam.
”Aku yakin besok akan terjadi sesuatu yang luar biasa.”
”Ya,” Ki Dipo Rumi meyakinkan, ”aku juga yakin besok akan terjadi sesuatu. Nah, kaudengar suara apa itu?”
Wirandaka berdesir ketika telinganya menangkap suara melengking menyayat. Suara burung gagak di malam hari benar-benar menimbulkan rasa tidak nyaman di hati siapa pun. Bukan hanya burung gagak, suara burung bence pun ikut membelah malam bersahutan. Apalagi, ketika beberapa ekor anjing menyalak bersahutan beradu keras dan saling mengejek. Seorang bocah amat ketakutan oleh suara anjing itu dan bersembunyi di sela pelukan ayah dan ibunya. Bagi bocah itu, di luar sana ketika anjing sedang saling menggonggong, sedang ada hantu yang mencuri perhatian anjing-anjing itu. Bukan anjing itu yang membuat bocah itu ketakutan, tetapi lebih karena hantunya, yang matanya melotot akan lepas, lidahnya menjulur terayun-ayun menetes-netes. Suasana terasa sangat hening. Seiring dengan waktu yang bergerak membelah ke pusat malam, kabut yang membungkus kotaraja Wilwatikta terasa makin pekat. Bahkan, akhirnya Ki Wongso Banar dan Dipo Rumi tidak bisa saling memandang. Obor yang dipegang Wirandaka kehabisan minyak. Minyak yang dibuat dari lemak itu akhirnya tidak bersisa.
”Apakah jika siang datang, keadaan akan tetap seperti ini?” bertanya Wirandaka yang ternyata dilibas rasa cemasnya.
”Tentu tidak. Kautahu jawabnya,” balas Ki Wongso Banar. Adalah pada saat itu, ternyata bukan hanya Ki Wongso Banar yang terusik mata hatinya oleh keganjilan yang terjadi dan luar biasa itu. Penghuni wisma kepatihan terpancing oleh kabut yang melayang menembus bilik pribadinya. Mahapatih Arya Tadah yang menempati wisma kepatihan sudah uzur, bahkan usianya tidak terpaut banyak dengan Raden Wijaya yang setelah naik takhta bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Pengabdian, jasa-jasa, dan kecintaannya yang luar biasa terhadap negara membawa Tadah pada kedudukannya sebagai Mahapatih.
Tadah yang tengah berbaring dalam bilik pribadinya dan memerhatikan keadaan, segera bangkit berdiri. Rasa heran dan takjubnya kian menjadi manakala melihat kabut yang amat pekat seolah menyergap wisma kediamannya.
Seorang prajurit bergegas mendekat.
”Ada apa ini?” bertanya Mahapatih Tadah.
”Kabut Gusti Patih,” jawab prajurit itu dengan sigap. ”Sebuah keajaiban alam tengah terjadi. Kabut tebal turun menyergap kota.”
Tadah termangu. Rupanya Tadah teringat tontonan langka seperti ini pernah disaksikannya sekian tahun yang lalu. Dengan tertatih Tadah melangkah turun ke halaman. Prajurit itu sigap membantunya. Arya Tadah yang tua menggapaikan tangannya seolah ingin memegang kabut itu, tetapi sebagaimana atas udara, Mahapatih Tadah tidak menangkap apa pun. Kabut yang turun benar-benar tebal. Bahkan dari tempatnya, Mapatih Tadah tidak berhasil melihat regol depan wisma kepatihan. Yang terlihat hanya warna putih. Jika Tadah menengadah, tepat di bagian di mana bulan berada, kabut tampak keputih-putihan.
Tiba-tiba Tadah berdesir. Tadah pun tertegun.
”Ada apa, Gusti Patih?” bertanya prajurit muda itu.
”Kaudengar suara itu?” balas Mapatih Arya Tadah.
Prajurit muda itu menyempatkan memerhatikan keadaan dengan lebih cermat dan saksama. Ada suara anjing menggonggong di kejauhan, ada pula suara bence yang melengking menyayat membelah malam.
Namun, baginya anjing yang melolong atau burung bence yang menyayat bukan hal aneh.
Barulah suara yang agak ganjil itu muncul belakangan.
”Burung gagak?” desis prajurit itu.
Terdengar suara burung gagak. Burung kelam yang konon menjadi lambang kematian. Burung gagak mempunyai ketajaman indra luar biasa, setidak-tidaknya burung gagak tahu jika ada orang yang sedang sakit yang akan segera mati. Jika seseorang sakit dan di atap wuwungan hinggap seekor burung gagak, boleh diyakini orang yang sakit itu akan segera mati. Atau, jika burung gagak hadir di sebuah tempat dalam jumlah yang banyak, sangat mungkin di tempat itu nantinya akan terjadi bencana yang akan banyak menelan korban jiwa.
Kabut turun tebal dan terdengar burung gagak yang berteriakteriak di tengah malam, ditingkah oleh angin menderu. Bukankah angin menderu macam itu akan membungkam burung gagak atau ribuan mulut burung branjangan sekalipun?
”Malam ini memang terjadi kejadian yang nganeh-anehi, Gusti Patih,” berkata prajurit yang menemaninya. Arya Tadah mencoba memerhatikan, tetapi kabut tebal menghadang pandangan matanya.
Mapatih Tadah yang telah sampai pada sebuah simpulan berdesir tajam. Mapatih Tadah yang telah banyak mengenyam asam garam kehidupan serta mumpuni dalam membaca tanda-tanda alam, tidak bisa menutupi rasa cemasnya. Arya Tadah menjadi tambah gelisah oleh kenangan terhadap tanda-tanda yang muncul di saat terjadi peristiwaperistiwa besar. Malam menjelang kematian Ken Dedes misalnya, badai dan kabut tebal bahkan menyapu seluruh negeri. Ribuan bahkan jutaan ekor kunang-kunang beterbangan menjadikan suasana bertambah keruh, membingungkan, dan mengundang cemas siapa pun. Esok harinya, semua orang menemukan jawabnya ketika prajurit berkuda membacakan wara-wara di pasar-pasar dan di tempat-tempat ramai.
Berbeda dengan kematian Ken Dedes yang para dewa di langit menandainya, kematian Umang sama sekali tidak ditandai apa pun. Bahkan, mayatnya ditemukan membusuk setelah dua hari lewat.
”Bagaimana Gusti Patih?” tanya prajurit itu yang merasa heran pada sikap Mapatih Tadah.
Arya Tadah tidak menjawab. Laki-laki tua itu terus melangkah, bahkan turun ke jalan. Patih Tadah tidak melihat apa pun kecuali tebalnya kabut. Jika kabut itu makin menebal maka besar kemungkinan jarak pandang hanya tinggal selangkah ke depan.
”Pergilah ke istana,” tiba-tiba Tadah berkata, ”panggil Bekel Gajahmada. Suruh dia menghadapku sekarang.”
Tanpa banyak bicara prajurit itu segera melaksanakan tugasnya. Sesaat kemudian terdengar suara kuda berderap meninggalkan wisma kepatihan. Berbeda dengan manusia, kuda tidak begitu mengalami kesulitan meski kabut amat tebal. Dengan indranya yang tajam, kuda itu bahkan seperti memiliki jalannya sendiri seolah tidak memerlukan mata.
Dengan gelisah Arya Tadah menunggu kedatangan Bekel Gajahmada di pendapa wisma kepatihan. Sementara itu, oleh kabut yang turun, para prajurit pengawal istana justru menjadi sangat waspada. Dalam keadaan yang aneh seperti itu, terlalu mudah bagi pihak yang ingin membuat kekacauan untuk melaksanakan niatnya. Para prajurit segera berloncatan dengan pedang serta tombak terhunus, bahkan anak panah melekat di busurnya, ketika terdengar kuda berderap mendatangi mereka. Namun, prajurit dari wisma kepatihan itu segera mengucapkan kata-kata sandi tertentu yang dimengerti oleh para prajurit pengawal istana.
”Ada apa?” bertanya pimpinan prajurit penjaga regol utama.
”Mahapatih Arya Tadah meminta Bekel Gajahmada untuk menghadap sekarang,” jawab prajurit itu tegas. Bekel Gajahmada yang berdiri tidak jauh dari tempat itu dan tengah mengamati keadaan bergegas mendekat.
”Mahapatih memanggilku?” bertanya Bekel Gajahmada.
”Ya!” jawab prajurit dari wisma kepatihan itu.
”Baik. Aku segera ke sana,” jawab Bekel Gajahmada. ”Kembalilah lebih dulu, aku akan menyusul karena ada persoalan yang harus aku selesaikan dulu.”
Prajurit penghubung dari wisma kepatihan itu segera minta diri meninggalkan halaman istana. Sesaat setelah prajurit itu naik ke atas kudanya, ia tertegun karena di halaman istana itu juga terdengar suara burung gagak yang menyayat. Rupanya tidak hanya seekor karena dari arah yang lain juga terdengar suara lengkingan yang serak tidak nyaman di telinga. Bahkan, seperti ada benang penghubungnya. Dari arah yang lain terdengar lolong anjing yang menyayat. Dari sebuah rumah peternakan, ayam-ayam di kandang ikut riuh menyumbang, menandai keadaan itu dengan suara bersahutan riuh rendah. Sekali sentak pada tali kekang, kuda yang ditungganginya segera berderap, membawanya kembali ke wisma kepatihan yang tidak terlampau jauh jaraknya.
Bekel Gajahmada adalah seorang pemuda yang bertubuh kekar. Badan dan pikirannya amat sehat, seorang prajurit muda yang memiliki kelebihan khusus dibanding prajurit yang lain, bukan saja kemampuan bela diri yang dikuasainya,
Gajahmada.Eps: I
Senin, 29 April 2013
Perjalanan sejarah berlangsung sangat panjang dan tak diketahui di mana ujungnya. Ada dua wangsa yang tercatat dan keberadaan mereka ditandai dengan megah dalam wujud candi Borobudur di arah barat Gunung Merapi dan candi Jonggrang di Prambanan di arah selatan gunung itu pula. Garis keturunan Syailendra dan garis keturunan Sanjaya silih berganti menyelenggarakan pemerintahan. Agama Hindu dan Buddha marak mewarnai kehidupan segenap rakyatnya. Hukum ditegakkan, negara dalam keadaan gemah ripah loh jinawi.Dari prasasti Balitung ditulis bahwa Medang Ri Pohpitu atau Medang di Pohpitu, Raja Mataram yang pertama adalah Sanjaya, disusul oleh Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watu Humalang, dan Balitung. Pada prasasti Canggal tertulis bahwa pada tahun Saka yang telah lalu dengan ditandai angka Caka Cruti Indria Rasa, pada hari Senin, hari baik, tanggal tiga belas bagian terang bulan Kartika, sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tandatanda di bukit yang bernama Stirangga untuk keselamatan rakyat.
Perjalanan waktu mengubah segalanya. Pemerintahan di tanah Jawa Dwipa bergeser ke arah timur, ada Isyana yang meninggalkan jejak amat jelas bersamaan dengan Warmadewa di Bali dan Sriwijaya di Sumatra. Sejak berkuasanya Sindok, Jawa bagian timur menggantikan Jawa wilayah tengah di atas panggung sejarah. Empu Sindok dan keturunannya banyak meninggalkan prasasti, berturut-turut sampai pada garisketurunanberikutnya,SriDharmawangsaTeguh Anantawikramatunggadewa, yang memerintah dengan aman dan damai negara Medang Kamulan.
Manakala Sri Dharmawangsa pralaya, Airlangga berhasil meloloskan diri serta membangun kembali reruntuhan pemerintahan. Tahun 1019, atau dalam sengkalan Gatra Candra Maletik Ing Sasadara, oleh para pendeta Buddha, Siwa, dan Hindu, Airlangga dinobatkan menjadi raja menggantikan Dharmawangsa. Pemerintahan Airlangga benar-benar memberikan air kehidupan bagi segenap rakyatnya. Namun, sebuah kekeliruan telah dilakukan oleh Airlangga yang mengesampingkan persatuan dan kesatuan dengan membelah kerajaan menjadi dua. Sri Sanggramawijaya, sang pewaris takhta yang ternyata tidak bersedia dinobatkan menjadi raja, mendorong Airlangga untuk bertindak adil atas dua anaknya yang lain. Kahuripan dibelah menjadi Jenggala yangberibu kota di Kahuripan dan Panjalu yang beribu kota di Daha.
Sebagaimana terlihat dari jejak-
PENGGUNAAN PANCA INDERA DALAM TEATER
Manusia yang normal dikaruniai Tuhan
dengan lima panca indera secara utuh. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu
menggunakan panca indera kita tersebut, baik secara bersama-sama ataupun
sendiri-sendiri. Dalam teater kita juga harus menggunakan indera kita dengan
baik agar dapat memainkan suatu peran dengan baik pula.
Supaya alat-alat indera kita dapat
bekerja semaksimal mungkin, tentu saja harus dilatih. Hal ini sangat perlu
dalam teater untuk membantu kita dalam membentuk ekspresi. Bentuk-bentuk
latihan yang dapat dilakukan, antara lain :
THE TECHNIQUE OF PHRASING.
Teknik memberi isi
Sebuah kalimat akan tersa mempunyai kesan apabila di beri isi atupun tekanan,
dalam istilah bahasa inggris di namakan:THE TECHNIQUE OF PHRASING.
Pada kalimat “ Gayanya itu “. Bisa mengandung bermacam-macam pengertian, jika
di ucapkan dengan cara tertentu, dapat menjadi dari orang yang mengucapkan.
Ada tiga macam cara memberikan tekanan pada isi kalimat.
Perrtama dengan
tekanan DINAMIK
Kedua dengan
tekanan NADA
Ketiga dengan
tekanan TEMPO.
Langganan:
Postingan (Atom)